The Pearl That Broke Its Shell


PEREMPUAN DI TANAH AFGHANISTAN

Budaya patriarki yang menggila. Hidup di lingkungan yang menjunjung tinggi lelaki, Rahima harus rela dipilih menjadi Basha Poch. Pilihan tersebut diambil sang ibu karena dari rahimnya tak kunjung dianugerahi anak laki-laki. Melahirkan bayi laki-laki adalah kebanggaan.

“… sekarang dia saudara laki-laki kalian, Rahim. Kalian harus melupakan saudari perempuan kalian yang bernama Rahima.” ~ Ibu h.55.

Bosha Pacha adalah tradisi dimana keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki akan memilih putri mereka untuk menjalani keseharian sebagai seorang putra sampai usia tertentu. Tradisi yang tak disangka mengantarnya pada ketertarikan dan pernikahan dengan lelaki seusia ayahnya.

Di sisi lain, ada kisah nenek buyut Rahima yang dikisahkan oleh bibinya, Khala Saimah. Kehidupan nenek buyut Rahima bernama Shekiba, dengan cacat setengah wajah, juga mengantarnya menjadi sosok wanita-pria. Kehidupan yang menjadikan dirinya sebagai hadiah yang berpindah-pindah tangan setelah seluruh keluarganya meninggal.

Dua kisah Rahima dan Shekiba, bercerita dengan sudut pandang pertama, secara bergantian per bab. Penulis menyajikan dua cerita ini dengan mengesankan. Penggambaran sosok perempuan dengan kelemahan sekaligus kekuatannya dimanfaatkan penulis untuk menceritakan kondisi Afghanistan di pada masanya masing-masing. Rahima dan Shekiba, dua perempuan di zaman yang jauh berbeda, namun tetap menjadi pihak yang disisihkan dan dipandang sebelah mata.

Dua tokoh samasama melewati fase hidup yang sangat berat-yang saya sendiri kadang ngeri membayangkannya. Bersama penulis, saya mengimajinasikan kondisi Afghanistan, dari masa kerajaan, tentang sosial budaya yang lebih difokuskan pada posisi perempuan, perang saudara, sampai konflik politik.

Meski ada dua tokoh sentral dalam cerita, tapi saya lebih terkesan dengan sosok Khala Saimah, sang bibi penghubung dua kisah. Sosok yang dengan keberanian dan tekadnya menubruk adat istiadat, meski dirinya sendiri tidak merasakan apa yang dipejuangkannya. Tak ada yang sia-sia.

Hanya saja, menurutku, akhir kisahnya terasa kurang berkesan, mengingat dramatisnya kehidupan Rahima dan Shekiba. Akhir cerita Rahima dan Shekiba lebih terlihat sebagai harapan penulis bagi Afghanistan. Meski begitu, saya sendiri berharap novel lain Nadia Hashimi juga diterjemahkan.

“Tembok-tembok rumah ini mengurungmu dengan ketat. Fokuslah pada dirimu sendiri. Semua yang kau alami dalam hidup akan mengajarimu sesuatu, membuatmu haus akan sesuatu. Ingat Allah mengatakan, ‘Berusahalah, dan Aku akan menolongmu.’” ~ Khala Saimah h.558
Judul: The Pearl That Broke Its Shell | Penulis: Nadia Hashimi | Penerjemah: Endang Sulistyowati | Penerbit: Bhuana Ilmu Populer | Terbit: 2017 | Tebal: 600 hlm | Harga: Rp. 115.000 | Bintang:4/5 bintang

Comments