Satin Merah


Yeah! Aku suka novel ini, terutama karena tema Sastra Sunda yang menjadi salah satu sorotan dalam cerita. Tak dipungkiri memang kalau budaya di Indonesia mulai mengalami abrasi mengingat kurangnya kesadaran pentingnya ‘jati diri’ bangsa ini di masa depan, ditambah para muda-mudinya selalu berkiblat dengan dunia Barat, baik pemikiran maupun gaya.

Saya masih ingat ketika SD dan SMP mendapat pelajaran bahasa daerah agak pontang-panting menggunakan Basa Kromo Inggil karena dalam keluarga komunikasi lebih sering memakai bahasa Indonesia atau Jowo Ngoko. Namun, untuk penulisan huruf honocoroko, saya selalu menyambutnya dengan gembira karena kala itu menganggapnya seperti huruf sandi. Sayangnya, sekarang saya sudah sukses lupa dengan penggunaan huruf-huruf tersebut.

Berangkat dari keprihatinan ini, Brahmanto Anindito & Rie Yanti meracik sesuatu yang konvensional [Sastra Sunda] dengan ramuan modern. Adalah Nadya, karakter utama dalam buku berjudul Satin Merah. Sosok yang sangat ambisius ‘hanyalah’ seorang gadis SMU yang ingin menunjukkan bahwa dirinya punya prestasi yang melebihi adiknya. Dari situ terlihat bahwa Nadya sangat kehilangan perhatian dari orangtuanya.

Demi mendapatkan apa yang diinginkannya, Nadya memutuskan mengikuti pemilihan siswa teladan, dengan salah satu syaratnya membuat karya ilmiah. Memang dasar ni anak cerdas, dia tidak ingin mengangkat tema yang sudah pasaran, maka Sastra Sunda pun menjadi obsesinya. Mulailah Nadya ‘mengembara’ mencari narasumber yang dapat menopang tema menariknya ini. Ketidakmampuan mengendalikan emosi inilah yang menjadi awal mula petaka hidup Nadya. Pembunuhan demi pembunuhan pun dilakukan, yang tanpa disangka malah semakin mengukuhkan ilmu Nadya di bidang Sastra Sunda yang di buku ini digambarkan sebagai Energi Putih.

Sejauh yang saya ingat, Satin Merah adalah kali ketiga saya membaca novel thriller karya penulis muda Indonesia, setelah Metropolis hasil olah kepala dari Windry Ramadhina dan buku Farida Susanty yang berjudul dan hujan pun berhenti. Hanya saja Metropolis lebih cenderung ke misteri-detektif. Sedangkan Satin Merah lebih banyak menebar aura psychological thriller yang lebih ‘dark’ dibandingkan dengan ‘Dan Hujanpun Berhenti. Namun, kesan yang saya dapatkan hampir sama, gembira karena ada penulis dalam negeri yang bersedia bersentuhan dengan genre yang satu ini, dimana kebanyakan penulis lebih suka mengambil tema cinta, motivasi, dan remaja.

Sedikit kekurangan yang saya tangkap dalam alur cerita adalah masih bingungnya saya dengan teknis kematian dari Nining, kapan pemberian sianida dilakukan? Selain itu, bagian dimana Nadya berkawan dengan geng motor, saya rasa tidak diperlukan mengingat tidak terlalu berpengaruh dalam cerita. Terlepas dari itu, saya menyukai novel bersampul menawan terbitan GagasMedia ini dan berharap semakin banyak penulis yang bersedia ‘menyentuh’ sisi budaya bangsa sebagai tema sentral dalam sebuah novel. Bravo!

Judul: Satin Merah
Penulis: Brahmanto Anandito & Rie Yanti
Penyunting: Widyawati Oktavia
Penerbit: GagasMedia
Cetak: Pertama, 2010
Tebal: xiv + 314 hlm
Bintang: ***
Pinjam dari Mbak Nadiah

:: ingin buku seken/murah bermutu? mampir ke FB Parcel Buku yuk! ::

Comments

  1. ada adegan pebunuhan segala mbak? :o jarang nih gagas mengangkat tema kayak gini :p

    ReplyDelete
  2. iya, ini termasuk genre yang jarang disentuh ma gagasmedia, tapi sepertinya sekarang gagasmedia udh mulai memberi variasi genre untuk pembaca

    nice!

    ReplyDelete
  3. dari reviewny, sepertinya bukunya bagus. tapi dalamnya bahasa indo kan? :) Saya juga suka dengan novel "dan hujan pun berhenti"

    ReplyDelete
  4. iya, penulisnya asli Indonesia :D
    bagus koq, recommended buat yang suka thriller ;)

    ReplyDelete
  5. wow
    kenapa aku berdebar-debar di bagian kalimat "pembunuhan demi pembunuhan pun dilakukan" ya? Jadi pengen baca buku ini :D

    ReplyDelete

Post a Comment

What Do You Things?