(Berkat NgeBlog) Cinta Nge-Ripiu Banget Deh!

Nongol-nya si Blog Jendelaku Menatap Dunia

Blog ini sebenarnya sudah dibuat sejak tahun 2007, tapi saat itu hanya sekadar blog yang berisi curahan hati. Begitu memasuki akhir tahun 2008 saya terinspirasi dari obrolan seputar buku dengan Mbak Rini Nurul Badariah [Rinurbad] dan blog resensinya yang dulu beralamat di sinarbulan.multiply.com [sayangnya sekarang sudah tidak aktif]. Tidak dipungkiri bahwa selama membaca pasti ada pendapat yang berseliweran di kepala, baik itu tentang isi, cover, hikmah, atau gaya penulisan buku. Keinginan untuk menumpahkan segala pendapat itulah yang kemudian membuat saya ingin mempunyai wadah tersendiri. Terciptalah blog Jendelaku Menatap Dunia.

Awalnya saya tidak menyangka, tapi saat saya mulai melakukan search blog buku ternyata hasilnya di luar dugaan. Banyak! Banyak saya temukan blog-blog yang concern mereview buku. Kala itu blog yang kemudian sering saya tongkrongi di antaranya, Pak Iqbal Dawani [http://resensor.blogspot.com], Pak Nur Mursidi [http://etalasebuku.blogspot.com], Mas Adi Toha [http://jalaindra.wordpress.com/], Mbak Endah [http://perca.blogdrive.com/] , Mas Jodi [http://jodypojoh.blogdrive.com/], Pak Hernadi Tanzil [http://bukuygkubaca.blogspot.com/], dan mengenal klub buku bernama Kubugil.

Dari merekalah kemudian saya mulai belajar mereview buku dengan lebih baik. Saya mulai melihat dan menyerap bagaimana menulis review dengan mengamati tulisan-tulisan mereka, di samping juga memperbanyak latihan. Selain itu, saya bersyukur karena selama ‘proses’ menjadi reviewer, ada Mbak Rini yang dengan sabarnya bersedia meladeni segala pertanyaan atau keluhan selama menulis resensi. Terkesan serius? Bisa jadi karena saya menginginkan review saya benar-benar informatif.

Hingga tahun 2010, saat saya sedang bersemangat mereview buku, suatu saat, salah seorang resensor kawakan, Iqbal Dawami, mencetuskan pada saya, “tahun ini harus selangkah lebih maju”. Kalimat itu muncul didasari dari dorongannya kepada saya untuk mulai mengirimkan review ke berbagai media.

Keder! Itu yang terpikir pertama kali di kepala. Gimana gak keder, kalau melihat resensi di koran-koran terlihat begitu berwawasan dan puanjaaaang. “Kalau me- review usahakan sampai 2 halaman 1 spasi,” inilah sedikit tips dari Pak Iqbal yang membuat saya bengong. Ya iyalah bengong, karena selama ini me-review maksimal 2 halaman 1,5 spasi—bisa disamakan dengan 1 halaman 1 spasi. Sempat mengajukan kepesimisan, tetapi segera dijawab, “Awalnya memang sulit, tapi lama kelamaan ternyata biasa aja.”
Saya pun mulai lagi melongok-longok bagaimana review-review yang bertebaran di media massa. Kemudian, mencoba menulis dan mengirimkan hasil review ke alamat-alamat media massa yang juga saya dapatkan dari Pak Iqbal.

Saat itulah proses me-review saya terbilang cukup berkembang, dari yang asal-asalan, menjadi lebih serius. Walaupun sampai sekarang tidak ada satupun review yang tembus ke media, hahaha, tapi saya menikmati ‘perjuangan’ kala itu. Sungguh, saya menjadi lebih menikmati kegiatan me-review buku. ^^

Semangat yang Jatuh-Bangun

Saya mempunyai obsesi untuk selalu menulis review setiap kali selesai membaca sebuah buku. Tapi ternyata obsesi tersebut tidak mudah. Kendalanya bisa bermacam-macam, mulai dari malas, hingga tidak ada waktu luang karena harus mengurus anak. Satu sisi, ingin menumpahkan segala kesan dari buku, tapi di sisi lain, kondisi tidak selalu memberikan waktu luang yang panjang. Sedangkan menuliskan review tidak jarang membutuhkan konsentrasi, supaya apa yang disampaikan mudah dicerna pembaca review.

Saya pribadi memandang obsesi me-review buku setiap selesai membaca memiliki banyak keuntungan, mulai dari yang tidak cepat lupa dengan isi dari buku, hingga kelegaan batin setelah menumpahkan penilaian subyektif saya terhadap sebuah buku. Tidak jarang, ketika me-review sebuah buku saya menjadi lebih memahami isi buku yang sebelumnya sempat membuat isi kepala menjadi kusut, karena dari kegiatan tersebut kepala saya menjadi lebih bisa memilah-milah kelebihan dan kekurangan yang berkenaan dengan buku tersebut. Bahkan saya juga bisa sedikit membandingkan sebuah buku dengan buku lain yang pernah dibaca [dan di-review]. Selain itu, berbagi adalah poin yang menjadi tambahan motivasi untuk terus menulis resensi. Membantu seseorang sebelum membeli atau memilih sebuah buku.

Sempat setelah melahirkan Miza, anak pertama, saya kesulitan untuk kembali me-review buku, bahkan membaca pun rasanya iya-tidak-iya-tidak karena benturan waktu dan kelelahan. Bersyukur, kemudian Mbak fanda yang baik hati, menggiring saya ikut grup FB bernama Blogger Buku Indonesia. Huah! Alhamdulillah, rasanya seperti menemukan sesuatu yang sudah lama dicari-cari. Legaaa banget, bertemu dengan komunitas yang maniak buku, tidak hanya membaca tapi juga me-review. Semangatku rasa seperti mendapat recharge! I loph BBI!

Mengkritik Buku? Kenapa Tidak

Dilema mengkritik sebuah buku? Bingung antara ingin menceritakan kesan buku apa adanya dengan kapasitas dirinya yang --mungkin-- tidak bisa menulis seperti karya yang ingin direview-nya.

"Terlebih saya pernah menemukan sebuah status dari seorang penulis, yang katanya ada yang bilang kalau karya yang dia bikin itu biasa banget oleh salah satu pembaca.. trus di statusnya itu dia bilang 'emang situ bisa nulis kayak gitu?' Nah lho.. kalau saya diserang kayak gitu terkapar tak berdaya jadinya."

Kutipan tersebut saya dapatkan dari tulisan Mbak Yanti, ketika menghadapi dilema mengkritik sebuah buku. Saya terkekeh ketika membaca bagian tersebut. Terasa sekali, si Mbak Yanti lemes banget begitu mendapat 'serangan' yang defensif dari penulis.
Sebenarnya tindakan defensif dari penulis memang wajar terjadi, tetapi di sisi lain juga teramat disayangkan karena kritik adalah sebuah poin pengembangan diri, bahkan jika kritik tersebut tergolong menjatuhkan. Mengapa? Karena dari situ mental penulis akan digembleng.

Contoh sederhananya menghadapi kritik adalah seperti penjual soto. Ketika sotonya dijual otomatis yang menikmati dan merasakan adalah pembeli. Saat pembeli berkomentar, "ini koq gini rasanya?" Ada dua sikap yang bisa diambil oleh si penjual, menerima atau menampik? Akan bertanya, "Apa yang kurang/salah?" atau "Nah, situ emang bisa bikin soto kayak saya?"

Dari dua pilihan tersebut, kita pasti tahu dampak apa yang akan didapat si penjual soto dalam hal pengembangan diri. Dan hal ini juga berlaku kepada sosok penulis. Ada satu catatan yang pernah saya dapatkan dari sebuah blog [lupa namanya ] bahwa jika sebuah karya telah dipublikasikan pada khalayak umum, maka karya tersebut sudah bukan lagi menjadi hak pembuatnya. Jadi, apresiasi apapun dari masyarakat harus diterima.

Nah, rasanya tidak adil jika saya hanya menyoroti dari sosok penulis. Sekarang saatnya berbincang tentang pengkritik itu sendiri, alias tukang pembuat resensi/ review. Kalau sudah masuk ke area ini, sudah pasti seperti menguleg-uleg dan memperingatkan diri sendiri. Ya iyalah, wong saya senang sekali mengomentari buku orang padahal tidak pernah menerbitkan buku.

Namun, kalau ditilik dari contoh penjual soto. Seorang pengkritik karya soto sebenarnya bukan orang yang ahli membuat soto. Bisa jadi dia hanyalah penikmat soto, dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga lidahnya mampu ‘membaca’ kenikmatan dari setiap sajian soto. Kurang lebih begitulah yang dirasakan seorang pe-review buku -- atau mungkin hanya perasaan saya seorang ya? heheee...

Subyektif? Sudah pasti. Tidak ada satu kritik pun yang murni bersifat obyektif. Hal ini mungkin yang harus digarisbawahi dengan tebal oleh seorang penulis, bahwa semua pendapat bersumber dari subyektivitas, sehingga tindakan defensive, yang tak jarang menjatuhkan imejnya, tidak perlu terjadi.

Sebagai pengkritik atau pe-review sendiri juga harus tahu diri -- nunjuk diri sendiri. Sangat berbeda antara kritik membangun dan menjatuhkan. Kritik yang menjatuhkan menurut saya adalah pendapat yang hanya asal tunjuk dengan bahasa yang kasar, tanpa adanya kejelasan tentang hal salah/ tidak pas apa yang terkandung dalam karya tersebut. Contohnya, [ambil kasus tukang soto lagi deh ] ketika seorang pembeli soto berkomentar, "Sotonya gak enak!", tetapi ketika ditanya, "Gak enaknya dimana?" Dia hanya diam atau berkomentar, "Ya pokoknya gak enak." Menyebalkan bukan?
Sedangkan kritik yang membangun sudah pasti kebalikannya. Disampaikan dengan bahasa santun tapi lugas, disertai kejelasan tentang apa yang tidak sreg dalan karya tersebut. Dan kritik macam inilah yang perlu sekali dimiliki seorang pe-review *hehe, maaf kalau terlalu sotoy*

Tidak perlu takut untuk meluapkan kritikan pada sebuah karya, asalkan ada dasarnya, tidak asal menyembur kritik yang malah membuat pemiliknya bertanya-tanya. Jika kritik disampaikan dengan niat dan bahasa yang baik, maka pe-review tentunya juga tidak perlu takut dengan respon dari penulis. Apalagi penulis yang bijak pastinya dapat memilah-milah sendiri mana kritik yang memang perlu ditindak lanjuti dan mana yang cukup didengar dan dibaca saja.

Salah seorang teman resensor pernah mengatakan, bahwa untuk mereview buku alangkah baiknya jika disampaikan dengan jujur, kelebihan dan kekurangan, tanpa ada keinginan untuk mengagung-agungkan karya. Sampaikan apa adanya, minimal hal tersebut bisa menjadi informasi yang sangat bermanfaat bagi pembaca yang lain. Satu hal yang pasti, seorang penggila buku tidak akan terpatok pada satu review ketika menginginkan informasi sebuah buku yang akan dibeli atau dibaca. Bahkan ada juga pengalaman, ketika saya mengkritik habis-habisan sebuah buku, teman saya malah jadi semakin tertarik dengan buku tersebut.

Satu lagi hal yang perlu diketahui pe-review. Dari pengalaman pribadi, untuk bisa menyampaikan kritik dengan baik ternyata membutuhkan latihan yang terus menerus. Saya sendiri jika melihat review-review terdahulu -- bahkan sekarang -- seringkali merasa bahwa bahasa yang digunakan masih belum termasuk baik dan jelas. Masih banyak kritik-kritik saya yang bersifat ngambang. Jadi, sepertinya saya pun masih harus belajar banyak dalam hal me-review.

Bonus Hobi Review Buku

Dari awal saya tidak mengharapkan sesuatu uang muluk dengan blog Jendelaku Menatap Dunia. Me-review buku, membagikan informasi, dan sharing tentang buku, itulah yang memang saya idamkan selama bercerita tentang sebuah buku dalam blog. Hingga kemudian muncullah bonus-bonus menyenangkan

1. Buntelan buku dari penulis, editor, bahkan penerbit

Mendapatkan buku gratis sudah pasti menjadi hadiah yang sangat menyenangkan bagi bookholic. Itulah salah satu yang didapatkan begitu keranjingan saya mereview buku dilirik oleh mereka. Sudah pasti, buntelan itu tidak hanya sekadar dibaca kemudian disimpan, tapi WAJIB untuk direview karena menurut saya mendapatkan buku dari mereka tergolong sebagai utang dan harus segera dilunasi.

2. Muncul dalam buku Berguru Pada Pesohor

Hahahay! Tidak menyangka blog saya disebut dalam buku Berguru Pada Pesohor, Panduan Wajib Menulis Resensi Buku bersama dengan blog-blog reviewer 'papan-atas'. Padahal kalau melihat judulnya, harusnya saya yang berguru pada pesohor.


3. Kejutan dari Majalah Chic Magazine Edisi 100

Kaget dan excited! Buat saya yang tidak pernah sekalipun nongol di majalah, atau media, berita tentang blog saya yang diulas di majalah menjadi sesuatu yang spesial --Tengkiu buat Mbak Diah yang mengabarkan pertama kali.


Ah! Sungguh sangat-sangat menyenangkan memiliki Jendelaku Menatap Dunia, karena membuatku belajar banyak hal dan mendapatkan teman yang juga banyaaaak!!

*ditulis untuk menyemarakkan hari Blogger Indonesia
NB: artikel di atas adalah kumpulan tulisan lama saya yang digabung dan diedit ulang.


:: ingin buku seken/murah bermutu? mampir ke FB Parcel Buku yuk! ::

Comments

  1. Contohnya, [ambil kasus tukang soto lagi deh ] ketika seorang pembeli soto berkomentar, "Sotonya gak enak!", tetapi ketika ditanya, "Gak enaknya dimana?" Dia hanya diam atau berkomentar, "Ya pokoknya gak enak." Menyebalkan bukan?
    --> Sangat menyebalkan, hehehe.

    ReplyDelete
  2. Ikutan ambil kasus tukang soto, "Sotonya enak nih, kira2 kapan ya saya bisa bikin soto senikmat ini" ...nah dalam hal ini, ganti "soto" dengan "buku" hehehe ...nanti salamnya kusampein sama Pak Iqbal (yang sebenarnya masih ngaku sbg mas-mas) hehehe *piss Pak Iqbal ...wahhh hari blogger di blog ini panjangggg dan ditulis dgn sngt mendalam. Great

    ReplyDelete
  3. kereeennn, udah sering masuk media =D mudah2an someday bisa mengikuti jejaknya, amin! =)

    ReplyDelete
  4. saya suka dengan 2 contoh tukang soto itu.. persperktif yang berbeda... :D
    Sebenarnya saya juga mau tahu, Subjektifitas mereview buku juga di pengaruhi dengan selera kan ya??
    Karena kadang saya melihat tulisan review yang terlalu mengikuti selera.. kalau kita ngambil contoh tukang soto lagi, Si pembeli bilang sotonya ga enak, ditanya ngga enak kenapa, si pembeli bilang, kuahnya keasinan, padahal bisa jadi soto itu sebenarnya ngga asin asin amat, cuma kebetulan pembeli tadi emang berselera masakan yg manis atau gimana.. jadinya di lidahnya soto itu terlalu asin..
    Jadi kalau penulis mau defensif duluan, mestinya mikir juga, membaca juga menyangkut soal selera, kalau karyanya tidak disukai, mungkin bukan sepenuhnya karena tulisannya kurang bagus, mungkin karena tulisannya tidak sesuai dengan selera hehehe...
    eh, sy ngomong apaan sih :)) :))

    btw mbak, hari ini hari blogger nasional ya?? ^^a

    ReplyDelete
  5. yap..saya setuju dengan mereview sebuah buku haruslah tetap menjaga nilai-nilai etis. Ngomong-ngomong bicarain buku dengan soto suatu inovasi tuh, cuma hati2 aja dengan percikan kuahnya ke halaman buku, hehhee

    semangat peresensi Indonesia.

    ReplyDelete
  6. loh koq komennya jadi tukang soto semua, ya udah ikutan beli soto semangkuk deh... #eh

    yang pasti seorang blogger buku haruslah menjadi penikmat soto (buku) sekaligus penilai soto (buku), enak tidaknya soto (buku) yg kita nikmati lalu kita ceritakan pada teman2 penyuka (soto) itulah hakekat seorang bloger soto (buku) sejati... :)

    ReplyDelete
  7. walau pun sotonya nggak enak, kalo gratis tetep aja diembat, hehehe.
    wah hebat bisa masuk majalah, hehehe. ak kalo nulis juga subjektif mb, masih newbiew, benar kalta mb sinta, harus banyak belajar dan berlatih :)

    ReplyDelete
  8. Selamat Hari Blogger Nasional Semuanya. Mari kita ekspresikan jiwa kita melalui tulisan. Biarpun sederhana dan terkesan apa adanya tapi yang penting bermanfaat bagi banyak orang. Sekali lagi, Happy Blogger Day All..!!!

    ReplyDelete
  9. Waaahh. Rapinya.

    Sampai sekarang pun masih belajar untuk menulis "honest review".Walau kadang bingung mau ngeliat dari sisi apalagi. XD

    ReplyDelete
  10. waduh mbak..jadi kepengen...aq jg mau nih, belajar jd resensator...^^

    ReplyDelete
  11. semangat mbak :) semoga tulisannya segera dimuat bahkan dibukukan dan menjadi referensi banyak penulis

    ReplyDelete
  12. Loh, tak hanya berteman di goodreads, aku pun menemukan dirimu di sinih :>

    Emang sih, kalau ada yang mengkritik tulisan kita, pasti perasaan pertama yang muncul adalah ingin membela diri. Saya juga dulu begitu :D
    Untungnya masih bisa tahan lidah.
    Abis itu, saya telaah lagi kritik dari orang itu. Ternyata ada benarnya juga kok, malah bisa jadi bahan introspeksi ^_^
    Kritik itu, menurut saya, justru paling bagus datang dari orang yang nggak kenal kita/penulis secara pribadi, sebab yang dia nilai murni adalah hasil pikiran kita.
    Keep writing ya ^_^

    ReplyDelete

Post a Comment

What Do You Things?