Mafalda 1, Pukulan Telak dari Kepolosan Bocah


Anak-anak selalu identik dengan kepolosannya dalam berucap atau menanyakan sesuatu, yang tak diragukan adalah bentuk awal dari kecerdasan otaknya yang sedang berkembang. “Senjata” kepolosan inilah yang digunakan Quino, komikus asal Argentina, untuk mengapresiasikan luapan kritik pada kondisi negaranya.
Walaupun komik ini dibuat 1964-73, tetapi kesatirannya masih fresh dan relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. “Pada masa tokoh Mafalda lahir, kebijakan ekonomi Argentina dinilai hanya menguntungkan segelintir orang dan modal asing. Kelas menengah memang meningkatkan hingga 40 persen, namun pengangguran meroket dan kesenjangan ekonomi menajam….” [Pengantar Redaksi]
Seperti membaca kondisi bangsa sendiri bukan?

Melihat sosoknya yang imut, endut, tembem dengan pita yang sangat manis di puncak rambutnya yang lebat pasti akan membuat saya gemas melihatnya, apalagi saat melihat wajahnya yang berubah datar dan tanpa berdosa setelah menyampaikan pendapatnya yang nylekit. Cara berpikir yang masih netral, positif, dan spontan, khas anak-anak, membuat sindiran Mafalda lebih mengena, dan bisa jadi bakal menciptakan ekspresi tertegun, berkerut, atau mungkin defensif pada wajah pembaca kala membaca celetukannya yang ‘terdengar’ menyerang eksistensi.

‘Serangan’ kepolosan Mafalda tidak hanya ditujukan kepada keseharian atau kehidupan terdekatnya, tetapi juga merambah ke dunia pendidikan, peperangan, carut marut bangsa, maupun dunia. Dan bagaimana Mafalda menyindir masalah peperangan, PBB, dan Amerika, harusnya membuat ‘mereka-mereka’ yang andil atau menduduki kursi kekuasaan merasa malu. Sayang, sepertinya mereka terlalu angkuh untuk menanggalkan ego?

Salah satu poin yang sangat berpengaruh dalam meraih generasi yang unggul adalah sistem pendidikan. Kemudian, bagaimana pendidikan menurut kacamata anak-anak? Mafalda sukses menyentil berlimpahnya aktivitas sekolah yang kerap ‘menekan’ otak anak-anak. Sedangkan di sisi lain, banyaknya materi pelajaran terkadang tidak didukung dengan mutu yang baik.

Seperti yang tergambar di salah satu strip Mafalda terlihat mengukur lingkar kepalanya dengan menggunakan meteran, kemudian berujar sambil melihat hasil di meteran, “Emmm… Muat nggak ya buat nampung semua yang diajarin di sekolah?” [Sekolah Yuk!: 3]

Ibu guru (mengajar di depan kelas): Mama sayang aku. Mama cinta aku.

Mafalda (maju menyalami Bu Guru): Selamat ya, Bu, sepertinya mama Ibu baik sekali.
Kemudian kembali ke bangku dan berteriak: Nah sekarang tolong ajari kami sesuatu yang lebih berguna. [Sekolah Yuk!: 14]

Pria yang bernama asli Joaquin Salvador Lavador ini, tidak hanya bertumpu pada sosok Mafalda dalam menyampaikan kritik-kritiknya. Masih ada empat bocah cilik yang masing-masing memiliki karakter kuat. Tokoh Felipe dengan imajinasinya sangat tinggi akibat kontaminasi televisi; Sosok Manolito yang mewakili para kapitalis; Susanita yang merupakan gambaran kaum borjuis yang terkadang feminis, atau Miguelito yang lugu.

Sedikit petikan dari banyaknya celoteh bocah-bocah ini yang cukup menyentil,

Susanita: Dasar Mafalda! Menyebalkan! Dia bilang pertanyaanku adalah pertanyaan bodoh!
Manolito: Memangnya kamu tanya apa?
Susanita: Kenapa di Negara ini para pekerjanya sangat miskin, nggak pirang, nggak ganteng dan nggak punya mobil kayak Amerika? Menurutmu pertanyaanku itu bodoh?
Manolito [termenung]: Nggak. Kalau dipikir-pikir, itu bukan pertanyaan bodoh.
Susanita: …………
Manolito: Beneran, deh. Kalau dipikir-pikir lebih dalam. Itu pertanyaan berbahaya!
[Hidup Negeriku! : 19]

Felipe: Halo!
Mafalda: Sssstttt!! Jangan kencang-kencang! Ada yang lagi sakit di rumah.
Felipe: Papamu sakit?
Mafalda: Nggak
Felipe: Kalau gitu Mamamu, ya?
Mafalda: Bukan juga
Selanjutnya digambarkan mafalda duduk di depan globe yang sedang dibaringkan dalam kondisi ‘sakit’
[Astaga Dunia Kok Tambah Parah, Sih: 3]

Berdasar wawancara Quino dengan Lucia Iglesias, wartawan Unesco Courrier, pada tahun 2000, ia mengatakan, “Dunia sekarang masih tetap sama dengan dunia yang dikritik Mafalda pada 1973, saat saya tidak lagi melanjutkan komik strip tersebut, atau bahkan lebih buruk. Di satu sisi saya senang komik ini masih terus dibaca, tapi di sisi lain sedih rasanya memikirkan ketidakadilan sosial yang dia adukan masih tetap ada sampai sekarang.” [dikutip dari Pengantar Redaksi]

Salah satu bukti bahwa dunia tidak pernah belajar dari sejarah.

Judul : Mafalda 1
Penulis : Quino
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2010
Tebal : xii + 129 halaman
Genre : Komik Strip
ISBN : 978-979-91-0213-3

Comments

  1. mampir sinta.. dah lama ga mampir kesini

    ReplyDelete
  2. wahaha lucu baca globenya sakit..
    saya mampir kesini lagi
    eh minta dukungannya ya di http://aaslamdunk.blogspot.com/2010/06/jalan-slamet-riyadi-sebagai-icon-kota.html

    ReplyDelete

Post a Comment

What Do You Things?