Room

Judul: Room
Penulis: Emma Donoghue
Penerjemah: Rina Wulandari
Penerbit: NouraBooks
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: 420 halaman
Harga: Rp. 79.000 (Diskon di Toko Buku Online)
Bintang: 4/5


Manusia adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan interaksi yang memadai. Apa yang terjadi jika kebutuhan tersebut terenggut? Terpenjara dalam ruangan berukuran tiga kali tiga meter dengan stress yang berputar-putar di kepala tanpa bisa dikeluarkan dengan baik. Kondisi yang pasti menyesakkan dan dipenuhi keluhan bagi orang dewasa. Namun, kondisi ini menjadi sesuatu yang lain dan  menarik ketika diceritakan dari sudut pandang anak usia 5 tahun.

Room. Sebuah kamar tertutup, dihuni Jack dan ibunya tanpa pernah merasakan udara Luar. Keseharian mereka terbaca seru saat mulai memainkan imajinasi anak-anak. Eggsnake di kolong tempat tidur, Labirin dari karton tisu gulung, membuat trek lari dari benda-benda di ruangan, bermain tebak orkestra, dan permainan yang bisa dilakukan dengan barang seadanya. Ma berusaha membuat Jack tetap memiliki aktivitas, meski munculnya rasa stress tidak dapat dipungkiri terutama saat Ma mulai Hilang.

“Hanya karena kau belum pernah bertemu mereka, tidak berarti mereka tidak nyata. Ada lebih banyak hal di dunia daripada yang pernah kau bayangkan.” (Ma. 104)

Keseharian yang terkungkung di Kamar, menciptakan batasan dalam kepala Jack, bahwa segala yang ada di kamar adalah Nyata dan semua hal di TV adalah Tidak Nyata. Kamar adalah dunianya, bahkan di kemudian hari, saat bebas, Jack terkadang merindukan Kamar dengan ketenangannya. Salah satu tanya-jawab yang muncul di kepala Jack, adalah bagaimana Nick Tua membelikan kebutuhan mereka, apakah dia masuk ke dalam TV untuk membeli sesuatu di toko? Lalu, muncul lagi pertanyaan, apakah Nick Tua termasuk nyata atau tidak nyata?

Sampai suatu ketika Ma memiliki ide mengeluarkan mereka dengan mengandalkan Jack dalam gulungan karpet. Bukan aksi yang mudah, tapi mereka bebas dari Kamar dan bertemu dunia Luar. Kebebasan Ma dan Jack  ternyata menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Jack. Dunia Luar yang dulunya terbayang menakjubkan, ternyata malah menerbitkan banyak kebingungan, bahkan terkadang menakutkan. Belum lagi, kondisi psikologis Ma yang ternyata belum stabil menghadapi serangan dunia Luar dan dirinya sendiri.

“Ini sebenarnya sulit,” “Ketika dunia kita adalah hanyalah tiga meter persegi, segalanya lebih mudah untuk dikendalikan. Banyak hal yang membuat Jack panik sekarang. Tapi aku benci cara media menyebutnya aneh, atau seorang pemuda idiot, atau liar, kata itu ____ ” (Ma – h. 296)

Saat Jack mulai memainkan logika sederhananya tentang segala yang ditemuinya di Luar, adalah bagian yang paling saya sukai. Meski terkadang muncul pertanyaan di kepala saya, bagaimana bisa anak usia 5 tahun bisa berpikir dan berargumentasi dengan sangat cerdas, kisah Ma dan Jack mengandung sinisme pada dunia terutama ketika mereka telah berada di Luar. Kepolosan dan pemahamannya yang masih sederhana membuat cara pandang Jack tanpa prasangka, sayangnya dunia tidak seperti itu, banyak hal yang dibuat berbelit karena banyaknya pertimbangan.

“Kami harus tinggal di dunia, kami tidak akan pernah kembali ke Kamar, kata Ma itulah yang akan terjadi dan aku harus senang. Aku tidak tahu mengapa kami tidak bisa kembali bahkan hanya untuk tidur.” (Jack – h. 236)

Semakin luas dunia yang dijejak, akan semakin banyak hal yang harus dipahami. Tidak ada kebebasan karena semua memiliki batasannya. Dunia Luar dan Kamar, sama-sama menjadi sesuatu, dimana Jack menuturkan banyak pertanyaan yang layak untuk ditanyakan kembali dalam benak masing-masing pembacanya. 

“Mengapa lebih baik di luar daripada di dalam? Ma mengatakan kami akan bebas tapi ini tidak terasa seperti bebas.” (Jack – h.321)

Comments