Sebelumnya maaf, tulisan ini hanyalah luapan kepala yang sudah beberapa minggu ini muter-muter di kepala. Awalnya sih tidak ingin menuliskan ini, karena takut ada banyak pihak yang tersinggung. Tapi koq rasa-rasanya kepala makin sumpek, apalagi berkali-kali harus berdebat dengan suami soal permasalahan yang satu ini... Eits, tapi ini bukan masalah rumah tangga, lebih kepada idealisme vs marketing *halah!*
Mungkin saja jika saya share disini, minimal saya bisa mendapat pemikiran yang lain. Walaupun suami sudah berkali-kali menyampaikan hal seperti itu adalah salah satu siasat untuk usaha marketing. Tapi lagi-lagi idealisme saya ternyata tidak bisa menerima.wiiiihhh...pengantarnya terlihat udah penuh misteri dan panjang ya, padahal yang mau diomongin teh simple
Okeylah, saiayah mulai saja
***
"Jadi lomba ini hanya menilai secara kuantitas dan bukan kualitas ya mbak?"
Kurang lebih seperti itulah pertanyaan---yang agak berbau retoris---tersebut saya ajukan di kotak komentar sebuah lomba resensi. Yah, walaupun sempat dijawab, tapi pada kemudian hari komentar saya akhirnya dihapus *mungkin bisa memancing kontroversi kali ya?!*
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan saya ajukan, karena akhir-akhir ini saya mulai melihat persyaratan lomba menulis yang tidak sreg di hati. Seperti pada lomba tersebut, syarat penilaian pemenang hanya diambil dari banyaknya komentar dan tanda "like". Syarat seperti itu mungkin bisa saya terima kalau saja tidak menjadi penilaian mutlak. Dalam arti, penyelenggara lomba masih bersedia memberi penilaian isi, gaya dan kualitas dari isi tulisan untuk para pemenang.
Saya merasa syarat lomba seperti itu sama sekali tidak mendidik, hanya ingin mengejar marketing-nya saja. Saya jadi berpikir, "kalau gitu bikin tulisan yang asal aja, ntar tinggal "seret" temen-temen buat ngasih komentar atau tanda "like" sebanyak-banyaknya. Menang deh!" Enak kan?
Saya pribadi jadi berpikir, kalau syarat seperti ini semakin banyak digunakan, apakah akan muncul penulis yang menulis karyanya dengan asal-asalan? Tinggal nanti "kuatin" aja cuap-cuap a.k.a marketingnya. Kemudian, saya jadi berpikir, apakah nantinya penerbit-penerbit ini akan lebih memilih kuantitas [nilai jual] buku daripada kualitas buku---kayaknya yang ini mah udah keliatan deh
Hmmm...apakah cara berpikir saya kejauhan yah? atau terlalu berlebihan? Tapi ya begitulah yang akhir-akhir ini memusingkan kepala saya *hedew, segitunyah *
Well, lagi-lagi saya katakan ini hanyalah pendapat pribadi. Jika kawan-kawan ada yang ingin menyanggah, sama sekali TIDAK DILARANG
kunjungi: http://parcelbuku.com
Mungkin saja jika saya share disini, minimal saya bisa mendapat pemikiran yang lain. Walaupun suami sudah berkali-kali menyampaikan hal seperti itu adalah salah satu siasat untuk usaha marketing. Tapi lagi-lagi idealisme saya ternyata tidak bisa menerima.wiiiihhh...pengantarnya terlihat udah penuh misteri dan panjang ya, padahal yang mau diomongin teh simple
Okeylah, saiayah mulai saja
***
"Jadi lomba ini hanya menilai secara kuantitas dan bukan kualitas ya mbak?"
Kurang lebih seperti itulah pertanyaan---yang agak berbau retoris---tersebut saya ajukan di kotak komentar sebuah lomba resensi. Yah, walaupun sempat dijawab, tapi pada kemudian hari komentar saya akhirnya dihapus *mungkin bisa memancing kontroversi kali ya?!*
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan saya ajukan, karena akhir-akhir ini saya mulai melihat persyaratan lomba menulis yang tidak sreg di hati. Seperti pada lomba tersebut, syarat penilaian pemenang hanya diambil dari banyaknya komentar dan tanda "like". Syarat seperti itu mungkin bisa saya terima kalau saja tidak menjadi penilaian mutlak. Dalam arti, penyelenggara lomba masih bersedia memberi penilaian isi, gaya dan kualitas dari isi tulisan untuk para pemenang.
Saya merasa syarat lomba seperti itu sama sekali tidak mendidik, hanya ingin mengejar marketing-nya saja. Saya jadi berpikir, "kalau gitu bikin tulisan yang asal aja, ntar tinggal "seret" temen-temen buat ngasih komentar atau tanda "like" sebanyak-banyaknya. Menang deh!" Enak kan?
Saya pribadi jadi berpikir, kalau syarat seperti ini semakin banyak digunakan, apakah akan muncul penulis yang menulis karyanya dengan asal-asalan? Tinggal nanti "kuatin" aja cuap-cuap a.k.a marketingnya. Kemudian, saya jadi berpikir, apakah nantinya penerbit-penerbit ini akan lebih memilih kuantitas [nilai jual] buku daripada kualitas buku---kayaknya yang ini mah udah keliatan deh
Hmmm...apakah cara berpikir saya kejauhan yah? atau terlalu berlebihan? Tapi ya begitulah yang akhir-akhir ini memusingkan kepala saya *hedew, segitunyah *
Well, lagi-lagi saya katakan ini hanyalah pendapat pribadi. Jika kawan-kawan ada yang ingin menyanggah, sama sekali TIDAK DILARANG
kunjungi: http://parcelbuku.com
Sama mbak...aku juga pengin komentar masalah ini dari dulu
ReplyDeletekalo aku ada lomba menulis atau lomba tentang apa saja yang penilaiannya dari kuantitas aku males ikutan
kesannya seperti MLM saja. Member get Member dan sejenisnya
Strategi marketing yang murahan dan sama sekali ga mengena untuk sebuah penerbit buku yang seharusnya mendahulukan sebuah kualitas.
Banyak lagi cara yang mereka tempuh yang menurut saya kurang "elit" dipandang sebagai penerbit.
Seperti membeli sebuah buku (sudah suruh beli musti memasarkan lagi) dan ngetag ke semua pemilik FB atau memasang cover buku menjadi foto profile..
Saya selalu ngga ikut kalo yang begini
secara, saya calon miss Universe kok disuruh ganti foto profil orang lain :D
kidding..
Seharusnya sebagai penerbit yang mencerminkan bahwa bukunya adalah buku berkualitas. Orang membeli buku kan bukan hanya dari bagus engganya sebuah cover tapi juga isi bukunya.
Menurut aku Sin, soal penerbit ngadain sebuah lomba dan marketing, itu adalah 2 sisi dari sebuah mata uang. Tapi kalau mereka menilai lebih ke kuantitas, ya udah salah tuh
ReplyDeleteWah...saya ndak tahu akar masalahnya dimana jadi saya nggak berani komentar. Tapi saya yakin sekali, bagi mba yang penikmat buku dan seorang editor lepas tahu banyak mana yang berkualitas dan mana yang tidak....
ReplyDeleteSalam hangat & sehat selalu....
like this
ReplyDeletejempol
hehehe.... kalo pake cara ini
ahlakul yaqiin orang yang tenar seperti artis ikutan pasti jadi pemanangnya
hm...makanya malas ikutan lomba yg diadakan penerbit.
ReplyDelete