Curhat Setan: Dendam Sejarah


“Aku tak mau kelak cucuku, atau orang-orang terdekatku, lebih mengenal siapa orang lain daripada kakeknya sendiri. Aku tahu apa yang dipikirkan Einstein muda, tetapi aku tak tahu apa yang dipikirkan kakekku waktu ia masih muda. Kita tak sempat bertemu, kakekku meninggal sebelum ia sempat bercerita banyak padaku”

Dendam Sejarah. Saya termenung membaca paragraf yang satu ini. Sebelumnya saya sama sekali tidak peduli dengan apa yang dipikirkan kakekku di masa lampau, tetapi ketika saya melakukan lompatan lintas waktu, dengan memposisikan diri sebagai “kakek”. Mencuat lah beragam tanda tanya. Apakah saya nanti akan musnah disantap para cacing tanpa peninggalan? Apakah saya nanti akan terpendam bersama cerita dan pemikiran yang pernah meledak-ledak dalam kepalaku? Pupus tanpa sejarah.

Pertanyaan-pertanyaan imajiner yang diluncurkan si Tuan Setan, mampu menghantam kesadaranku tentang hal-hal mendasar dari kehidupan dan kematian. Lakon Zira dan Marva [hal 147] mengantarkanku memahami bahwa kehidupan dan kematian bukan lah kuasa manusia. Boleh jadi raga manusia lenyap termakan waktu, tetapi cinta adalah kekuatan yang mampu merekam. Ketika waktu [hal 77] ternyata bukan milik insan, terima lah ketika cambuknya meringkihkan tubuh. Tetapi, Meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu. Kita adalah kepribadian. Dan harga kita adalah kehormatan kita...* Ya, kehormatan yang terwujud dari Harapan [hal 85] dan Mimpi [hal 107], yang senantiasa membuatku tetap berpijak kuat di atas bumi.

Saya belajar tentang Hierarki Kehidupan [hal 57] yang dituturkan lewat dongeng Horton, seekor gajah yang senantiasa percaya bahwa ada kehidupan di atas sebuah debu. Sebuah kepercayaan yang sama sekali tidak masuk akal. Hallo?! Debu? Horton ada-ada saja! Tetapi, apa yang terjadi? Ternyata memang benar bahwa pada setitik benda yang kerap luput dari perhatian manusia ini, terdapat sebuah kehidupan seperti laiknya Bumi. Terlepas benar-tidaknya dongeng ini, saya dihadapkan pada pelajaran bahwa kehidupan tak sebatas pada logika, namun ada ‘kehidupan’ dimana segala indera kita kerap tak mampu menjangkaunya. Yang terjadi karena keterbatasan manusia menerima segala fenomena kuasa Tuhan, yang tak sekadar menggunakan akal untuk mencernanya, tetapi juga keimanan.

Di sisi lain, Tuan Setan juga mengajakku mencerna tentang sebuah Ironi [hal 99] yang ternyata beterbangan di muka Bumi dengan gerakan meliuk-liuk indah, yang mempesona tapi seringkali melenakan. Bagaimana dengan mudahnya saya mengalirkan uang demi terpuaskannya sang nafsu, sedangkan di seberang, terdapat sosok-sosok yang membutuhkan uang ini untuk sekadar menenangkan ronta dalam pencernaannya. Bagaimana dengan nikmatnya saya mendengarkan dendang musik membuai angan, sedangkan di balik bumi terdengar erang kesakitan akibat terjangan peluru tanpa ampun. Ironis, melihat betapa nafsu yang diperkuat bius setan begitu melenakan. Curhat Setan [hal 125] yang kerap mengajakku untuk melawan “kediktatoran” Tuhan dengan nada memilukan di kepala, membujukku untuk melakukan pembenaran terhadap segala penyimpangan. “Pembenaran” yang mengantar kakiku untuk melangkah jauh dari-Nya. Oke oke, mungkin tidak selayaknya saya menyalahkan setan dalam setiap kesalahan yang kuperbuat, karena Setan hanya lah bertugas memberikan pilihan, sedangkan saya? Makhluk terbaik, makhluk berakal, makhluk cerdas…ah..sungguh bodohnya saya, makhluk yang memiliki “kuasa” atas segala pilihan dalam kehidupan.

Dan Bila Sampai Waktuku [hal 151], pilihan-pilihan hidup saya lah yang nantinya akan mengantarkan pada sebuah pertanggung-jawaban yang kekal, di mana saat itu saya hanya lah makhluk rendah dan tak berdaya di hadapanMU. Kumohon Tuhan...saat saya berada di penghujung nafas, kuberharap malaikat menggandengku—tanpa menyeret—mengajak Pulang [hal 93] dengan diiringi Doa [hal 145] tulus, dan meninggalkan Ingatan [hal 123] dan Memoria [hal 21] demi terpuaskannya Dendam Sejarah [hal 31].

*diambil dari Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya: WS. Rendra

Judul : Curhat Setan
Penulis : Fahd Djibran
Editor: Windy Ariestanty & Gita Romadhona
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : 2009
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-979-780-373-5

[Curhat Setan, music by BFDF, lyric by Futih BFDF & Fahd Djibran] bisa di download di sini

Comments

  1. tapi keknya seru tuh mbak... aku pertamaxx ternyat hohoho... *ketawa setan*

    ReplyDelete
  2. Bener tuh mba, judulnya menakutkan...tapi kayaknya banyak renungan yang akan kita dapat dari buku ini...

    ReplyDelete
  3. lagi ada lomba resensi buku ini
    kamu ga ikutan?

    ReplyDelete
  4. dengan adanya curhatan setan tentu kita bisa menyikapi hidup dengan arif lagi ya, thanks reviewnya....

    ReplyDelete
  5. Manakala Allah memberikan kita karunia, Allah ingin kita menyadari kabaikanNya.
    Manakala Allah membuat kita kehilangan Allah ingin menunjukan kepada kita kekuasaanNya yang luar biasa.
    Allah menginginkan membuat kita paham bahwa Allah menampakan diriNya kepada kita dalam anugrahNya.

    Kepasrahan adalah keputusan sikap untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan pada masa lalu Jadikan kehidupan ini menjadi sesuatu yang lebih positif dan menyenangkan. Bahwa Hari esok akan lebih baik dari hari sekarang.

    Cerahkan hati dengan pancaran sinar Illahi
    Tebarkan kedamaian dengan cinta kasih dan kelembutan.
    Tetaplah berkarya mengisi kreatifistas dengan pancaran cahaya Illahi
    Karyamu tetap dinanti.......

    ReplyDelete
  6. wheeww udah pernah di review nih...
    banyak hikmahnya yaah...mantaabbb

    ReplyDelete
  7. Konsep yg cantik,
    Keren banget review-nya ^^

    btw selamat yah :)

    Salam

    ReplyDelete
  8. judul yang membuat pensaran bagus,,

    ReplyDelete

Post a Comment

What Do You Things?