Judul: Ma Yan
Penulis: Sanie B. Kuncoro
Editor: Rahmat Widada
Penerbit: Bentang
Cetakan: Pertama, Januari 2009
Tebal: 214 halaman
"Ibu, Kumohon jangan hentikan langkahku. Aku akan tetap bersekolah, aku harus terus bersekolah! Lakukan sesuatu Ibu, sehingga aku bisa tetap meneruskan sekolahku. Lakukan apa saja, Ibu, meski itu harus mengosongkan mangkok nasiku" hal 137
Ma Yan, seorang gadis kecil Zhangjiashu yang menyimpan bara semangat untuk sekolah, walaupun dia harus berperang dengan kemiskinan. Di sisi lain, Bai Juhua, ibu Ma Yan, seorang wanita tangguh yang memperjuangkan anak-anaknya agar dapat memperoleh pendidikan sebaik-baiknya. Apapun akan dilakukan Juhua untuk memberikan kehidupan bermasa depan kepada putra putrinya. Sungguh sangat melelahkan hidup dibayangi dengan kebodohan dan kemiskinan. Itulah yang membuat Juhua tak rela, jika anaknya harus mengalami nasib yang sama seperti dia dan suaminya, Ma Dongji.
Namun, berhadapan dengan "kuasa" kemiskinan sempat membuat Bai Juhua putus asa. Ladang seluas 6 mu, sungguh tak dapat diharapkan. Ma Dongji pun harus bolak-balik ke kota untuk menjadi kuli di proyek konsultan. Itu pun Dongji harus rela jika dia menjadi korban kenakalan mandor yang memotong upah, atau bahkan tidak memberi upah.
Keputus-asaan Bai Juhua berujung dengan pilihan mematahkan semangat sang putri. Semangat yang harus dicabut karena kemiskinan dan garis perempuan. Garis yang mengukir "Perempuan tak layak mendapat pendidikan seperti laki-laki". Namun, bukan buku yang layak jual kalau Ma Yan menyerah dengan keputusan ibunya. Dan kisah pun berlanjut dengan perjuangan yang lebih keras antara ibu dan anak untuk menjemput sang ilmu lewat sekolah.
***
Buku ini memberikan beragam “rasa” kisah tentang semangat, keteguhan, kepedulian, kepasrahan sekaligus kelelahan dan putus asa. Namun, ada sedikit keganjilan dalam buku ini, seperti saat Ma Yan dipanggil ibunya ketika dia sedang menonton kartun di televisi [hal 85]. Mengingat betapa miskinnya keluarga ini, televisi bukan lah kebutuhan primer yang “pantas” untuk dimiliki.
Dari buku ini pembaca akan mendapat gambaran tentang kepedihan seorang pemetik fa cai, tanaman yang dianggap memiliki keberuntungan, namun sayang keberuntungan tersebut tak berlaku atas nasib para pemetiknya.
“Bagi mereka semua [pemetik fa cai] arti fa cai bukanlah “menjadi kaya” melainkan 'bertahan hidup'.…….Entah apakah para petualang kuliner tersebut tahu atau sadar latar belakang dan sejarah perjalanan sayur fa cai……Akankah mereka peduli terhadap jalur perjalanan sayur tersebut beserta perjuangan sarat kepedihan yang menyertai para petani pemetiknya?“ [hal 158-159]
Selain itu, Penulis juga cukup cerdik menyelipkan gambaran tentang kemiskinan dan kepedihan hidup masyarakat Zhangjiashu di antara megah dan hebatnya Bangsa China. Sebuah bangsa besar yang sanggup mengeluarkan puluhan miliar yuan hanya untuk mempersolek diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2008.
Assalamu'alaikum,mau nanya, si Ma Yan nya ini muslim bukan ?
ReplyDelete