Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf

Judul: Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf
Penulis: FLP Jawa Tengah
Editor: Kahf Nuna-Deas Pras-Ade Nata
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: 2008

“Aku nyengir sendiri. Tapi tunggu… ada pasukan lain yang juga mendengungkan doa mereka, mereka adalah keluarga yang kehilangan ayah, abang, ibu, paman, karena tuduhan gerakan komunis. Tetapi doa mereka seperti menelikung teman sendiri: mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati” [hal. 37]
Kutipan cerita di atas adalah satu paragraf dari cerpen berjudul Sudah Mati, judul yang bisa dikategorikan eksotis sekaligus cerpen yang sangat mengesankan.
‘Sudah Mati’ yang ditulis dengan kelincahan kata-kata Izzatul Jannah, berkisah tentang Aku, sang penjemput nyawa. Sang penjemput ‘kebebasan’ jiwa dari raga, yang sedang menyaksikan momen penjemputan nyawa. Dikisahkan satu sisi tokoh “Aku” melihat pertempuran hebat antara ikhtiar para dokter dengan doa-doa ‘pencabutan’ nyawa atas diri mantan penguasa orde lama, sedangkan di sisi lain, pada waktu bersamaan nampak ketenangan alam menyambut pencabutan nyawa pria sederhana bernama Parmin. Dua kematian dengan nuansa yang sangat berbeda.

Cerpen kedua yang mampu memberi kesan padaku adalah Ziarah Batu: M.N. Furqon. Penceritaan tentang pemilihan lokasi kubur sang ayah dan ending kisah yang memberikan kejutan keserakahan, sangat menarik untuk dinikmati.

Di samping ‘Sudah Mati’ dan ‘Ziarah Batu’ masih ada 13 cerpen yang melengkapi kumpulan cerpen berjudul ‘Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf’. Judul yang cukup kontroversi, tapi mampu menarik lirikan penikmat buku. ‘Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf’ oleh A. Adenata bercerita tentang histeria orang-orang yang selalu mengatakan si tokoh mirip nabi Yusuf,
“Dari mana kau tau aku mirip Nabi Yusuf?”
“Pokoknya kamu mirip Nabi Yusuf,” Kalimat yang selalu menjadi jawaban para penduduk pelosok negeri dan semakin membuat tokoh penasaran dengan dirinya.

Tema keikhlasan dihadirkan pada cerpen berjudul ’Perjamuan Malaikat’ dan ’Agustus Tahun Depan’. Afifah Afra lewat ’Perjamuan Malaikat’ menggambarkan keikhlasan Eyang Shobron melihat dan menghadapi kerakusan, bahkan menghilangnya kemanusiaan akibat kelaparan. Di hadapannya terpampang kebrutalan para jama’ah haji mengambil shodaqoh nasi di Bukit Arafah
”Mungkin sekotak nasi lebih berharga dibanding kesempurnaan beribadah haji” [hal 27]
Dan ’Agustus Tahun Depan’, menceritakan Pak Wira, seorang veteran Republik Indonesia yang menolak menerima uang pensiunan dari pemerintah. Cerpen yang dikisahkan Nassirun Purwokartun dengan penambahan kalimat jowo membuat nuansa Jawanya terasa.

Sindiran atas nasib petani dituangkan Prana Perdana dalam ’Bendera Bawang’. Cara Prana memadukan antara Bendera Merah Putih dan Bawang Merah Putih menjadi keunikan tersendiri. Dan sindiran kembali tertuang pada cerpen Maling karya Aveus Har, mengisahkan tentang dua Maling, dengan akhir nasib yang berbeda.

Kali ini Sakti Wibowo menuangkan “Battumi Anging Mamiri”, tapi kisah ini terlalu banyak kata-kata kiasan yang membuat kepala harus ekstra keras mencernanya. Dan aku baru “nyambung” dengan ceritanya ketika mulai memasuki babak-babak akhir kisah.

Buku ini menawarkan beraneka rasa ’buah’ perenungan, seperti yang dikatakan Joni Ariadinata dalam pengantarnya yang berjudul ’Berkebun di Taman Cerita’. Ada kelucuan dalam ’Jenmani Untuk Ibu’: Deasylawati, Kesederhanaan disajikan dalam ’Kerbau Pak Bejo’: Rianna Wati dan ’Surat Buat Tuhan’: Nashita Zayn, Kesetiaan terwarna dari Barongan: Jazhimah Al-Muhyi,. Kepercayaan akan Mitos dalam Matahari Tergadai: Sunarno dan Kyai Sanca Wangsit: Kresna Pati, serta Kehilangan Elang Hilang Sayap: Titaq Muttaqwiati.

Comments