Bendera Merah

Judul: Bendera Merah
Penulis: Juniarso Ridwan
Editor: Yus R. Ismail
Penerbit: Pustaka Latifah
Cetakan: Pertama, Mei 2008

Ia berpendapat, bahwa keberadaan desa harus terisolir, sehingga keaslian tetap terjaga. Tidak terganggu oleh perubahan yang akan mengubah wajah desa. Kemudian secara perlahan-lahan warga desa akan meninggalkan adat kebiasaan yang telah lama dianutnya. Desa harus tetap dipertahankan sebagai desa, begitu katanya. Bahkan aliran listrik pun seharusnya tidak diperbolehkan masuk desa. ”Apabila berbagai fasilitas modern masuk ke dalam lingkungan desa, maka warga desa akan menjadi malas, tak mau lagi terjun menekuni bidang pertanian,” kata Kiran suatu saat [hal. 25]

Kiran, sosok pria idealis yang sangat menentang modernisasi masuk ke desanya. Didukung dengan sifatnya yang selalu merasa paling benar, dia terus berusaha ”melindungi” desanya dari segala racun modernisasi. Keidealisannya dibuktikan dengan penggagalan pembangunan hotel di desanya. Kiran, dengan posisinya sebagai pengurus ICMB [Ikatan Cendikiawan Masyarakat Berakhlak] berhasil meyakinkan para pejabat yang berkompeten. Dan hotel pun urung dibangun.

Usahanya untuk ”melindungi” desa memberinya dampak ”pengasingan” dari para pemuda di desa tersebut, tapi itu sama sekali tidak menghambat pendiriannya. Perjuangannya berbuah ”manis”, Kiran yang sangat aktif di ICMB masuk ke dalam susunan menteri. Namun seiring berjalannya waktu idealismenya pun perlahan-lahan mulai runtuh.

***

Kiran adalah salah satu dari tiga judul cerpen yang beraroma politik dari buku kumcer bersampul klasik ini. Dua judul lain adalah Bupati Valentino yang mengisahkan Valentino yang terobsesi kembali menjabat sebagai bupati dan Mariane [istri Valentino] yang harus bisa menekan keberatannya; dan Sepotong Bulan Pecah di Atas Serpihan Piring, usaha mengumpulkan suara pemilu yang diwarnai perselingkuhan.

Di buku tipis berhalaman 80, penulis juga menuangkan sindiran-sindirannya lewat Surat Berdarah berkisahkan tentang Konflik Aceh-GAM, dan Kantor Yang Dihuni Genderuwo, genderuwo yang berbalut manusia.

Sebagai sosok yang juga dikenal sebagai penyair Sunda yang potensial, Juniarso tak lupa menuangkan kemampuan berpuisi pada cerpen yang berjudul Bendera Merah, cerpen yang menjadi ”headline” kumcer Juniarso Ridwan. Selain judul-judul di atas, terdapat juga Buku Harian Seorang Babu, Kerinduan Suami Istri, Tentang Pohon dan Wajah Bunda di Kepalan Tangan.

Cerita-cerita yang terkandung, sebagian besar tidak memiliki konflik yang memuncak dan diceritakan dengan mengalir mendekati datar, seperti menulis esai. Namun, semua cerpen beralur yang sangat terbuka, sehingga pembaca bebas mengimajinasikan bagaimana kelanjutan dari kisah-kisahnya.

Comments