Pegunungan Tinggi Portugal


“Oleh orang yang ditinggalkan, setiap kematian akan dirasakan sebagai pembunuhan, sebagai perenggutan nyawa seseorang yang disayanginya secara tidak adil. Dan kita yang paling beruntung sekalipun akan bersinggungan dengan setidaknya satu pembunuhan dalam kehidupan kita; kematian kita sendiri. Itu takdir kita.” (Maria ~ h. 207) 

Saat kematian tiba menyela cinta yang teramat besar, maka kehilangan yang mendalam akan hadir. Konflik penerimaan diri atas rasa kehilangan menjadi tema utama ketiga kisah yang disampaikan Yann Martel. Kisah-kisah yang dituturkan dengan gaya bercerita yang berbeda. Meski begitu, ketiganya ‘kelak’ akan memiliki benang merah, sekaligus pesan yang membutuhkan pemikiran/perenungan yang tidak instan.

Tomas adalah tokoh sentral pada kisah pertama ‘Tanpa Rumah’. Kesedihan akibat kehilangan ayah, pasangan, dan anak, menciptakan ‘ide’ yang direalisasi dengan aksi berjalan mundur. “… berjalan mundur, memunggungi dunia, memunggungi Tuhan, bukanlah cara Tomas untuk mengungkapkan duka. Ini adalah caranya mengajukan keberatan. Karena jika semua yang kaucintai dalam kehidupanmu telah diambil, apakah yang bisa kauperbuat selain mengajukan keberatan?” ~ h. 21

Hingga, penemuan buku harian Bapak Ulisses ‘mencerahkan’ kesedihan Tomas, meski tidak menghapus jalan-mundurnya. Disebutkan sebuah benda telah dibuat oleh Bapak Ulisses, yang menginspirasi Tomas untuk melakukan misi perjalanan menemukan benda kuno tersebut. Sebuah perjalanan yang dianggapnya sebagai perlawanan kepada Tuhan. Sebuah pesan ceritanya yang mungkin terkesan ‘berat’, tapi diceritakan dengan gaya lucu nan satir.

Berlanjut ke ‘Menuju Rumah’, kisah kedua ini lebih terasa absurd. Dibuka dengan obrolan dokter patologi dan sang istri, Eusebio dan Maria, yang lebih tepatnya monolog Maria tentang kisah Yesus dalam Injil. Pemikiran nyleneh Maria ini coba menguraikan dan menganalogikannya melalui karya Agatha Christie. Mungkin agak membosankan, tapi tidak, bagi penggemar Agatha Christie karena analisa Maria tidak sekadar dibahas sambil-lalu.

“Kalau kita menempatkan misteri pembunuhan Agatha Christie di Injil dan menyorotinya, akan terlihat kesamaan dan kesesuaian, kesepahaman dan kesetaraan. Kita akan menemukan keserasian pola dan kemiripan narasi. Itu adalah peta ke kota yang sama, perumpamaan dari hal yang sama. Semuanya berpendar dengan transparansi moral yang sama.” ~ h.207. 

Alur kisah kedua ini menjadi lebih ‘naik’, saat kedatangan Maria, yang lain, membawa mayat suaminya untuk dibedah. Pembedahan yang diiringi cerita kehilangan dan kejutan di setiap pembedahan bagian tubuh sang suami. Kedua kisah awal ini berujung pada akhir cerita yang sama, yaitu kesedihan yang masih mengurung Tomas Eusebio.

Kisah ketiga berkisah tentang perjalanan Peter bersama simpansenya, Odo. Sepanjang perjalanan Peter mengamati perilaku simpanse sembari merenungi kehidupan dan keluarganya. “Nah, kalau begitu, kalau masa lalu dan masa depan sudah tidak menarik, apa yang bisa mencegahnya dari duduk di lantai sambil merawat seekor simpanse dan mendapatkan perawatan balasan? Pikirannya tertuju pada momen ini, pada tugas di tangannya, pada teka-teki di ujung jemarinya.” ~ h. 358. Dan, kisah Peter dan Odo bisa dianggap sebagai kesimpulan dari kegelisahan-kegelisahan yang dituturkan pada dua kisah sebelumnya.

Buku ini berisikan metafora-metafora, dari pemahaman saya, yang menganalogikan tentang Tuhan, cinta dan kematian. Makna yang terkandung dalam ketiga cerita yang sebenarnya berkaitan ini tidak agak sulit diraih dalam sekali baca. Tapi, kunci dari keseluruhan cerita menurut saya, adalah kalimat terucap dari pesan Maria, istri sang patologi, “Iman adalah jawaban atas kematian.” ~ h.213.

Pegunungan Tinggi Portugal (The High Mountains of Portugal) |  Yann Martel |  Gramedia Pustaka Utama | 2017; 414 hlm | 4/5 bintang

Comments