Rumah Seribu Malaikat




“Hidup adalah panggung sandiwara. Dunia adalah tempat senda gurau. Dunia adalah tempat persinggahan sementara untuk mengumpulkan bekal pulang ke akhirat kelak. Kehidupan di dunia tidaklah kekal, jangan terlena dengan kenyamanan, sebab akan membuat diri menyesal di akhir hayat.” [h.412]
Membayangkan mempunyai 16 anak dengan jarak lahir yang berdekatan bagi saya cukup ‘mengerikan’. Pengalaman merawat satu anak, Miza Zaiyan, sering membuat saya kelimpungan, apalagi jika 16 orang. Namun, itulah yang dialami oleh keluarga Badawi. Dengan jumlah anak yang tergolong luar biasa, mereka menjalani keseharian yang terasa riuh dan menyenangkan. Tidak hanya itu, yang membuat sosok Ayah Badawi dan Ummi Yuli spesial adalah sebagian besar anaknya bukan lahir dari rahim sang istri.

Sejak menolak tawaran anak asuh sebanyak 5 kali, Ummi Yuli merasa bersalah dan bertekad akan menerima jika muncul tawaran keenam. Ternyata, Allah memutuskan memberikan kepercayaan yang begitu besar lewat munculnya Muhammad Azzam, bayi yang ditinggal ibunya setelah dilahirkan di tempat dukun bayi bernama Mak Atin. Amanah anak asuh tidak berhenti pada Azzam, mulailah berdatangan Baqir, Saina, Daffa, Naurah, Andika, dan seterusnya.
“Perjalanan hidup manusia dari lahir hingga akhir hayat telah diatur oleh Allah. Dialah Tuhan yang akan menjamin kehidupan hamba-hamba-Nya dan tak akan menelantarkan. Setiap ketetapan yang datang dari-Nya tak ada yang bertujuan buruk, meski tak selalu nyaman buat manusianya.” [h.162]
Menghidupi 16 anak sudah tentu bukan sesuatu yang mudah. Keyakinan bahwa setiap anak membawa rezekinya masing-masing membuat Ayah Badawi dan Ummi Yuli terus bersemangat merawat dan memberi pendidikan sebaik-baiknya. “Rezeki itu tidak bisa menggunakan hitungan matematika” nasihat yang pernah saya dengar ini memang berlaku untuk siapapun, tak terkecuali keluarga Badawi. Gaji yang jika dihitung-hitung sangat mustahil memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga ternyata cukup menjamin gizi dan sekolah anak-anak. Ada saja rezeki yang muncul, dari donator, sahabat, bahkan tukang sayur. Jaminan dari Allah itulah meyakinkan mereka untuk menerima setiap kali ada orangtua yang ingin anaknya dirawat keluarga Badawi.

Keluarga Badawi
Komitmen Ayah Badawi dan Ummi Yuli ternyata tidak lepas dari keprihatinan masa lalu. Masing-masing memiliki cerita masa muda yang dituntut untuk mandiri dan tidak ragu akan kebesaran Allah swt. Pendidikan dari orangtua masing-masing pun berperan besar atas pembentukan karakter mereka. Dari situlah Ayah dan Ummi memprioritaskan pendidikan bagi setiap anak, baik di rumah atau sekolah, baik berkenaan dengan akhlak, kreativitas, maupun kurikulum.

Menariknya, masing-masing anak memiliki karakter yang beragam. Hal ini yang menuntut Ayah & Ummi untuk tanggap dalam menganalisa tingkah polah anak. Seperti yang terjadi pada Andika yang sebelumnya hidup di jalanan, atau Risma yang sering menggigit saudaranya, atau Baqir yang hobi mengorek isi sampah. Masih banyak lagi ragam tingkah dari anak-anak tersebut yang kemudian malah menciptakan gagasan baru, salah satunya diciptakan Rumah Gambar.

Banyak hal yang dapat dipetik dari perjalanan hidup Ayah Badawi dan Ummi Yuli. Salah satu poin yang sangat patut diperhatikan adalah masalah niatan. Semua berawal dari niat. Ketika apapun yang dilakukan dengan niatan yang lurus dan bertujuan untuk mengharap ridho-Nya maka yang timbul adalah keikhlasan. Dari buku inilah saya belajar banyak tentang masalah niat.
“Luruskan niat setiap berbuat amal saleh, sehingga kau takkan peduli jika bantuanmu di dunia tak berbalas.” [h.194]

Judul: Rumah Seribu Malaikat
Penulis: Yuli Badawi & Hermawan Aksan
Penerjemah: Laura Khalida
Penerbit: Hikmah
Cetak: Pertama, Oktober 2010
ISBN: 978 6028767279
Tebal: 421 hlm
Bintang: ****

Comments