MENCERNA HIDUP DARI KEPALA SALVA

Judul: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Editor: Mirna Yulistianti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-1896-7
Cetak: Pertama, Agustus 2015
Tebal: 244 hlm
Bintang: 3/5
Harga: Rp. 58.000 (Diskon di Toko Buku Online)



“Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti kalau aku juga punya kepentingan. Kalau aku juga punya sesuatu yang ingin kuselamatkan. Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa” (h. 92)

Masa kecil Salva tidak terlalu menyenangkan, dengan Ayah seorang penjudi dan pemabuk yang suka sekali marah dan main tangan. Mama adalah pelindung dan penjaga Salva. Fakta yang membuat isi kepala Salva yang sederhana memandang bahwa Papa-Mama bukanlah panggilan keluarga, tapi sebagai label sosok Jahat-Baik.

Kepindahan Salva ke Rusun Nero, bersama Papa Mama, menjadi titik balik kehidupannya. Pertemuan dengan P, bocah lelaki dari Rusun Nero, adalah awalan hal-hal baru dalam kehidupan Salva. Sejak saat itu juga, posisi Mama yang selalu berada di samping Salva tergantikan oleh P. Bersama P, Salva membahas isi kepalanya dan mengenal penghuni Rusun Nero, termasuk Kak Suri dan Mas Alri.

“Aku bilang ke Kakek Kia, sulit sekali menemukan “kebenaran” dalam kamus. Lalu, dia tampak sedikit sedih. Dan, kata Kakek Kia, ‘Lebih sulit lagi menemukannya di dunia nyata.’ Lalu, aku bilang, ‘Tapi, yang di kamus ketemu, Yang di dunia nyata juga bisa ketemu, kan?’” (h.210)

Salva sangat menyukai kamus bahasa Indonesia. Setiap kata baru yang ditemukan/didengarnya akan dicari di kamus hadiah Kakek Kia. Kesenangan yang agak aneh untuk bocah berumur 6 tahun. Tapi, sisi inilah yang membuat cerita menarik. Nalar Salva dalam mengartikan kata seperti permainan menantang logika.

“Mama mulai tampak cemas karena daerah yang kami lewati tampak mencurigakan. Mencurigakan berarti ‘menimbulkan curiga’ dan curiga berarti ‘berhati-hati atau berwas-was karena khawatir; kurang percaya atau sangsi terhadap kebenaran atau kejujuran seseorang’. Kalau menurut penjelasan itu, kurasa Mama juga seharusnya berpendapat bahwa Papa mencurigakan. Menurutku, Papa mencurigakan karena aku selalu kurang percaya terhadap kebenaran atau kejujuran dia.” (h.12)

Salva cerdas, meski tetap memiliki daya nalar anak-anak ketika menerjemahkan keadaan atau perkataan orang dewasa. Kebiasaan meracau Salva menjadi penguat dari kekhasan pola pikir anak-anak yang masih suka ngalor-ngidul. Sayangnya, kekhasan itu tidak bertahan lama. Kebersamaan Salva dengan P sering menipiskan karakter anak-anak dalam diri mereka. Di beberapa bagian, terkadang saya agak sulit membayangkan perkataan/pemikiran itu keluar dari kepala anak usia 6 dan 10 tahun.

Bagian yang agak janggal, saat Mama yang sebegitu khawatir dan stresnya atas kepergian Salva bersama P, dan mendapat kabar sudah ditemukan di stasiun, malah pasrah menitipkan anaknya pada Mas Alri, orang yang sama sekali tidak dikenalnya, ke rumah Nenek Isma di pulau seberang. Apapun alasannya, jika saya tiba-tiba kehilangan anak, kemudian ditemukan, sudah pasti ingin segera memeluk anak dan meluncur ke lokasi, apalagi jaraknya yang masih terjangkau.

Terlepas dari segala kekurangannya, Di Tanah Lada menyindir para manusia dewasa yang sering lupa bahwa anak-anak juga memiliki keinginan, mempunyai kepentingan. Hanya karena dianggap masih bau kencur, segala keputusan diambil tanpa melihat si anak. Padahal sebenarnya anak sudah bisa berpikir dan menilai kejadian di sekitarnya. Anak bukan barang yang bisa seenaknya ditinggalkan dan diambil sesuka hati.

Comments