Maestro



“Hati-hati dengan buku yang kau baca, Makkah”

Berawal dari kepindahan Makkah, dari Bandung ke Jogjakarta, untuk menjejak dunia kuliah. Sebuah kamar telah dirapikan Om Sangkoro [Adik ipar dari Ibu Makkah] untuk Makkah, tapi dia menolak dan memilih untuk mengikuti suara gemerisik radio yang muncul dari kepalanya. Sebuah kamar yang tidak patut ditinggali itulah yang menjadi pilihan Makkah. Kasur jebol, sarang laba-laba, meja berserakan, debu menebal di sana-sini, suasana yang justru membuat dia betah.

Kondisi semakin aneh ketika Makkah menemukan sebuah buku harian [atau naskah?] yang kemudian menjadi kitab sucinya, hingga mengalahkan kesucian Al-Qur’an. Buku yang kelak akan mengantarkan Makkah kepada petakainilah, kemudian mengubahnya menjadi sosok gothic yang merajai dunia teater di kota Jogjakarta. Tidak hanya itu, Makkah juga pendiri band indie bernama Abrakadabra yang akan masuk dapur rekaman. Ketenaran tersebut kemudian membuat kelompok teaterawan terkemuka, SNtNG [Say No to Next Generation] untuk merekrutnya dalam pertunjukan teater monolog. Dan muncullah keanehan-keanehan dalam hidup Makkah.

“Jadilah seorang maestro, bukan plagiator, Makkah”

Sepanjang membaca buku ini saya dipertemukan dengan banyak sekali kekisruhan dalam diri tokoh. Mulai dari kebimbangan Makkah akan keotentikan karya dan penampilannya sehingga menghadirkan tanda tanya besar yang membuatnya dirudung kegelisahan; hingga kekaburan isi kepala Makkah akan sesuatu yang nyata dan maya. Semua dituturkan penulis dengan gaya mengalir yang sepertinya juga menjadi upaya untuk menyampaikan kegelisahannya. Selain itu, berdasarkan yang saya baca dari salah satu artikel di www.jogjastock.com mengenai Alex Suhendra, bahwa profesi yang diangkatnya pada tokoh Makkah merupakan kegelisahan Alex atas adanya pengkotakkan antara dunia teater dan musik. Dua dunia yang menurutnya bisa berjalan beriringan.

Bagian yang paling saya sukai dalam buku ini adalah momen-momen di saat Makkah berupaya untuk merasuk ke dalam naskah monolog dengan karakter yang memuja Kurt Cobain. Proses seorang teaterawan diceritakan dengan cukup detail dalam buku yang bersampul elegan ini. Tidak sekadar itu, begitu mendekati akhir cerita, kejutan demi kejutan mengiringi setiap halaman jelang tutup buku. Benar-benar apik, apalagi akhir cerita ditutup dengan gaya favoritku, yaitu menggantung.

Agak sulit menemukan kekurangan dalam buku ini, karena saya terlanjur suka dengan ceritanya [maaf, agak subyektif]. Mungkin permasalahan typo yang harus lebih diperhatikan oleh editor supaya pembaca lebih menikmati momen bersama ‘MAESTRO’.

Judul: Maestro
Penulis: Alex Suhendra
Editor: Benedicta Rini W
Penerbit: Sheila
Cetak: 2009
Tebal: vi + 314 halaman
Bintang: ****

:: ingin buku seken/murah bermutu? mampir ke facebook Parcel Buku yuk! ::

Comments

  1. Ih cepet bgt mb sinta bacanya, bikin reviewnya sekalian lagi, hebat hehe. Btw Alex Suhendra ini pemain teater di UGM ya? Kok rasanya ak pernah denger nama dia

    ReplyDelete
  2. dari hasil baca2 profil Alex Suhendra, dia memang pemain teater di Jogja

    ReplyDelete
  3. terima kasih untuk reviwe buku Maestro.
    penulis memang pemain teater, pemusik, sekaligus sutradara teater.
    salam kenal ya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

What Do You Things?